Home
 
 
 
 
Drs.Sozifao Hia,M.Si Meminta Perusahaan Terapkan Makna Kemerdekaan & Kensejahteraan Karyawan

Rabu, 19/08/2020 - 11:48:15 WIB

Doc: Foto Ketua Umum IKN Pelalawan, Drs. Dinodai Hia, M.Si yang juga sebagai Anggota DPRD Pelalawan dari Fraksi PDIP.
TERKAIT:
   
 
Pelalawan - Momentum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT-RI) yang perayaannya dilakukan setiap Tanggal 17 Agustus. Namun yang menjadi renungan bagi pemangku kekuasaan pemerintahan saat ini terkait adanya Perusahan Perkebunan Kelapa Sawit di Riau dan Kabupaten Pelalawan khususnya yang melakukan praktek Perbudakan.
 
Hal ini, diungkapkan oleh Ketua Umum Ikatan Keluarga Nias Pelalawan, Drs. Sozifao Hia,M.Si, di Akun aplikasi Facebook miliknya, Senin (17/8/2020).
 
Anggota DPRD Pelalawan dari Fraksi PDIP Pelalawan ini, menyampaikan sebuah pengakuan tentang Para Pahlawan Pejuang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sukses dalam memproklamasikan Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, sekaligus berhasil melepaskan diri dari perbudakan oleh Penjajahan Belanda 3,5 abad dan 3,5 tahun oleh Jepang.
 
Namun, Tokoh Masyarakat asal Nias Riau ini menyebutkan bahwa setelah 75 tahun kemerdekaan tepatnya Tanggal 17 Agustus 2020 dan ternyata masih bercokol para penjajah kemanusiaan dengan merekayasa sistem menuju perbudakan terhadap para "PEKERJA" baik karyawan SKU maupun karyawan BHL (Buruh Harian Lepas) atau Buruh Kontrak maupun istilah lainnya. Beberapa catatan kami sebagaimana uraian di bawah ini.
 
1. Sistem Harian Target Basis pada Pemanen: Pemerintah Provinsi Riau dan Kabupaten Pelalawan sudah menetapkan UMK Rp 3.002.000/bulan atau Rp 120.080/hari/7 jam kerja dan (Upah Minimal Kabupaten) dan UMSP pada perkebunan Rp 3.020.000/perbulan atau Rp 120.800/hari/7 jam kerja.
 
Dijelaskannya, penetapan Pemerintah Daerah ini sudah mempertimbangkan segala sesuatu bersama Pengusaha, Serikat Pekerja dan Pemerintah Daerah.
 
Menurutnya bahwa apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tersebut sudah baik. Akan tetapi, masih ada Perusahaan yang menerapkan target harian misal sawit yang ditanam tahun 2012 sebanyak 96 janjang.
 
"Penetapan target 96 janjang ini bagi tenaga kerja dan tidak tau dasar penetapannya, apakah berdasarkan survey atau menetapkan sesuai keinginan dari Managament," kesalanya.
 
Selain target jumlah janjang yang diterapkan oleh managemen perusahaan perkebunan kelapa sawit ini, kata manta Guru di sekolah Sukanto Tanoto ini, juga ada target ancak, yaitu 96 janjang itu wajib dihasilkan pada areal 4,5 hektar.
 
Bila pada areal ini tidak mencapai 96 janjang maka ditambah ke areal lain yang belum tentu satu hamparan yang berdekatan. Bila juga tidak mencapai 96 janjang maka perhitungan bukan lagi berdasarkan UMK atau UMSP melainkan hitungan harga premi 650 rupiah/janjang. Contoh yang dicapai hanya 90 janjang maka kepadanya hanya 90x650 rupiah/hari/7 jam hanya Rp 62.400 jauh di bawah UMK
 
2. Sistem OUT PUT adalah basis yang yang ditentukan oleh Management kepada pekerjaan karyawan/BHL Pemanen. Tergantung tahun tanam, tahun 95: 56 janjang, tahun 2010 : 76 janjang 2012 : 96 janjang.
 
Janjang basis/HK ini dihitung 2,5 kali dari target basis harian, bahkan sampai 250 janjang/hari/7 jam kerja dengan memberikan upah UMK/UMSP Rp 120.800 untuk 96 janjang sisanya 154 janjang dihitung harga premi Rp 650/janjang sama dengan Rp 38.500. Berarti pekerja hanya dapatkan Rp 159.300/hari/7 jam kerja. Padahal hasil kerja 250 janjang atau 2,5 x lipat tetapi pendapatan tidak mencapai 2,5 x lipat.
 
Sistem inilah yang kami maksud perbudakan, memaksa karyawan untuk mendapatkan lebih padahal di luar dari kemampuan kerja satu HK. Akhirnya karyawan memaksa diri mengejar OUTPUT ini dengan menggunakan tenaga istri dan anak-anaknya.
 
Sementara istri dan anak-anaknya ini tidak tercatat sebagai tenaga kerja, sehingga bila terjadi kecelakaan kerja maka pada istri dan anak-anak karyawan tersebut tidak ada yang bertanggung jawab, karena dianggap hal itu adalah tanggung jawab pekerja yang memekai tenaga istri dan anak-anaknya. Pihak perusahaan tetap merasa aman mempekerjakan orang di areal kerja perusahaan tanpa tercatat identitas, termasuk mempekerjakan anak di bawah umur. Tentunya, dalam momen HUT RI ke-75 tahun 2020 ini kiranya seluruh masyarakat (Tenaga Kerja) merasakan arti makna kemerdekan itu tanpa merasakan perbudakan dari perusahan dimana merek bekerja.
 
3. Sanksi dan hukuman serta ancaman. Bagi karyawan yang tidak mencapai target harian, output maupun target ancak maka disanksi diancam dimutasikan dari Pemanen ke pekerjaan lain yang parah lagi dan dianggap tidak berprestasi, berikutnya akan diberi surat teguran dan seterusnya.
 
Marilah kita renungkan praktek sistem kerja di Perusahaan sawit di Pelalawan ini, apakah ini tidak termasuk PERBUDAKAN di jaman kemerdekaan ini. Kebijakan Pemerintah direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai produksi kerja yang menghasilkan untung sebesar-besarnya dengan hasil pendapatan yang tidak sebanding dengan tenaga yang sudah digunakan. Memeras tenaga orang dan menjadikan orang/manusia jadi alat produksi tanpa batas.
 
Sistem yang diterapkan di atas dasarnya sulit ditemukan dan UU Ketenagakerjaan, atau peraturan apapun tetapi diciptakan oleh management...hal inilah yang kami sebutkan rekayasa sendiri memanipulasi dan tidak terpantau oleh Pemerintah.
 
Apakah praktek ini, atau seperti ini yang dipraktekkan oleh perusahaan sawit di Pelalawan dibiarkan? Ini sebuah catatan untuk dijadikan alasan untuk memeriksa dan melihat dari dekat mengapa anak-anak di bawah umur dipekerjakan? Mengapa istri karyawan yang tidak tercatat di perusahaan dipekerjakan ?
 
Di satu sisi banyak tenaga kerja BHL yang tidak diberi pekerjaan yang layak, terkadang dalam satu bulan hanya 5 hari kerja, terkadang 10 hari kerja yang hasilnya tidak mencukupi untuk dapurnya sebulan. Sementara karyawan pemanen malah dipaksa kerja dengan target yang tidak masuk akal.
 
Diakhir penjabaran kelakuan managemen Perkebunan Kelapa Sawit ini. Drs Sozifao Hia, M.Si, berharap agar perbudakan dalam bentuk apapun tidak terjadi di Republik tercinta ini.
Home